Tangan lelaki berusia 74 tahun itu berkelebat cepat. Punggung tangannya beradu. Plak! Suaranya begitu keras. Kakinya maju selangkah sambil menebas ke kiri dan kanan. Tetap dengan serangan jurusnya, ia berputar mengelilingi ruang tamu rumahnya. Sebentar kemudian, napasnya memburu. “Maklum, ude berumur,” katanya sembari tertawa.
Mengenakan peci hitam, kemeja, dan celana pangsi putih, Muhammad Ali bin Sabeni terlihat gagah. Ia bak sosok jago Betawi tempo dulu. Cocok dengan statusnya sebagai ahli waris Silat Betawi Aliran Sabeni.
“Yang barusan itu namenye Kelabang Nyebrang,” ujar Babe Ali, panggilan akrab Sabeni. Kelabang Nyebrang adalah jurus silat yang membuat ayah Ali, Sabeni bin Haji Chanam, melegenda di tanah Betawi. Sejarahnya, Sabeni, yang mendirikan Aliran Silat Sabeni, adalah jago Betawi yang disegani di Tenabang (nama Tanah Abang dulu kala).
Babe Ali bercerita. Aktivitas ayahnya, yang lahir pada 1860, sempat membuat Kompeni Belanda tak senang. Sebab, dia yang mengajarkan anak-anak muda Tenabang ilmu silat Bahkan Kompeni sempat mengupah jawara lokal untuk menghabisi Sabeni. Tapi gagal. Kehabisan akal, Kapten Danu yang memimpin Hoofdbureau van Politie (Kepolisian Hindia Belanda) memanggil petinju dari negara asalnya dan seorang jago kungfu dari Cina untuk menantang Sabeni.
Princen Park (sekarang Taman Lokasari, Jakarta Barat), disaksikan ratusan warga Betawi dan Belanda, Sabeni berhasil mengalahkan kedua lawannya itu. Bukan cuma kali itu Sabeni harus menghadapi musuh asing. Kala Jepang masuk pada 1942, ia ditantang di ebon Sirih Park (sekarang Balai Kota DKI) untuk bertarung dengan ahli karate dan judo.
Sabeni, yang ketika itu sudah berusia 83 tahun, menang lagi. Dua pertarungan itu diabadikan dalam film Berkas Tempo Doeloe yang diputar TVRI pada 1985. Jalan Kuburan Lama, Tanah Abang, tempat makam Sabeni, oleh pemerintah DKI diganti menjadi Jalan Sabeni.
Begitu melegendanya nama Sabeni sampai almarhum Benyamin Suaeb datang kepada Babe Ali untuk minta izin menggunakan nama Sabeni dalam karakternya di sinetron Si Doel Anak Sekolahan. “Saya izinkan karena nama Sabeni kan banyak,” katanya. Saat ini Silat Betawi Aliran Sabeni diteruskan oleh Babe Ali, yang merupakan anak ketujuh Sabeni.
Karena usia yang sudah lanjut, tugas melatih diserahkan kepada anak lelakinya, Zul Bachtiar. Ciri khas aliran itu adalah karakternya yang memang dikhususkan untuk bertarung. Menurut Eko Hadi Sulistia, murid Aliran Sabeni yang juga pengurus Forum Pelestari dan Pencinta Pencak Silat Tradisional Indonesia (www.silatindonesia.com), Aliran Sabeni tidak memiliki embang dan memang murni untuk beladiri.
Ini berbeda dengan aliran Betawi lainnya yang dapat dipergunakan untuk tarian atau ngibing,” katanya. Perbedaan lainnya, apabila karakter umum aliran pencak silat adalah bagaimana bertahan dan mengelak dari serangan, Aliran Sabeni justru mengutamakan penyerangan. “Kami balik menyerang kalau diserang.”
Pukulan tangan dan tendangan kaki, pada silat Betawi lain, dilakukan bergantian untuk menyerang. Pada Aliran Sabeni justru dilakukan bersamaan. “Lawan akan sulit mengantisipasi serangan.” Ciri khas lainnya adalah Aliran Sabeni mengandalkan gerakan tangan yang sangat cepat dengan sasaran muka dan daerah-daerah berbahaya.
Dan yang tak kalah penting, “Tidak boleh ada jarak dengan lawan. Kami harus bertarung dengan jarak yang sangat dekat.” Dengan segala keunikannya, Aliran Sabeni memiliki keunggulan dari aliran silat yang lainnya. Tapi itu juga menjadi kelemahannya karena ternyata cukup sulit untuk mempelajarinya.
Maraknya olahraga beladiri asing di Tanah Air membuat Aliran Sabeni hanya memiliki anggota yang bisa dihitung dengan jari. “Kami berharap banyak anak muda yang mau melestarikannya,” kata Eko. (silatindonesia.com)
Sumber :
AMAL IHSAN – Tempo, dalam :
http://silatindonesia.com/2008/06/silat-betawi-aliran-sabeni/
23 September 2006
Minggu, 17 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar