Minggu, 17 Januari 2010

Kisah Orang Betawi Sebelum Dipolitisasi

Jauh sebelum menjadi ibu kota negara, sekelompok besar orang telah mendiami Kota Jakarta . Mereka mengklaim diri sebagai orang Betawi . Mereka punya bahasa yang disebut bahasa Betawi . Berkat cerpen-cerpen Firman Muntaco, penulis yang juga seorang wartawan, orang masih bisa melacak jejak Betawi tempo dulu.

Siapakah Firman Muntaco? Menurut sastrawan SM Ardan, yang juga rekan kerjanya, Firman adalah penulis sketsa Betawi pada tahun 1950-an dengan rubrik Gambang Jakarte di koran Berita Minggu. Pria kelahiran 5 Mei 1935 itu mengekspos kehidupan sehari-hari orang kecil. Gaya tulisannya singkat ringan dan kocak.

“Dia merasa dirinya kecil dan merasa bukan sastrawan karena tidak bisa masuk dalam majalah Kisah. Kami tidak bergaul cukup akrab dan dia memang agak tertutup. Kalau di kantor, dia kadang sering menghilang tiba-tiba. Pulang tidak pernah bilang-bilang. Jadi kami tidak banyak kesempatan berakrab-akrab. Orangnya tidak lucu seperti tulisannya,” Ardan memaparkan.

Firman telah meninggal dunia pada 10 Januari 1993. Tetapi, dia menjadi perbincangan hangat dalam sebuah diskusi bertema “Cerita Firman Muntaco, Ihwal Jakarte Punye Cerite” di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta , Sabtu (5/8). Sejumlah cerpennya diterbitkan kembali dalam buku berjudul Gambang Jakarte.
Segar vs Getir

Nur Zain Hae, penulis karya sastra yang mewakili generasi muda, mengatakan Firman selalu ingin menghibur pembacanya dengan humor-humor segar sekaligus getir. Ironi juga sesekali ditampilkan dan sangat memikat. Kadang-kadang dia menghukum tokoh-tokohnya untuk kecewa, tidak beruntung atau berlawanan dengan harapan umum pembaca. Misalnya dalam cerpen Ai-Lap-Yu, dua kelompok pemuda berkelahi memperebutkan gadis yang akhirnya malah menikah dengan lelaki tua bangka.

“Si tukang cerita, kelahiran Cideng. Ia bernama Firman Muntaco, anak juragan susu, yang kemudian pindah ke Petamburan. Bang Firman, kita sebut saja begitu, bukan sahibul hikayat seperti Sofyan Zaid. Ia tukang cerita dengan medium yang lebih modern: cerpen, paling banter sketsa,” ia menambahkan.

Zain Hae berpendapat Firman menggunakan bahasa Betawi saat melakukan deskripsi dan dialog tokoh-tokohnya. Hal itu merupakan strategi penceritaan agar dapat lebih akrab dengan pembaca. Firman seolah tidak berambisi menjangkau pembaca yang tidak memahami bahasa Betawi . Hampir seluruh karyanya dipersembahkan untuk kaumnya, orang Betawi .
“Dia seorang penutur bahasa Melayu Indonesia yang nakal, sebenarnya, Bahkan bukan hanya bahasa Betawi yang ikut memperkaya cerita-ceritanya, tetapi juga bahasa Inggris, Belanda, dan sejumlah slang anak muda pada masanya,” tambah Zain Hae yang juga Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Firman yang juga pernah menulis untuk koran Poskota dan tabloid Mutiara, kata Zain Hae, sebenarnya juga dihantui Bahasa Indonesia. Hal itu merupakan fenomena umum bagi anak-anak Betawi yang “makan bangku sekolahan”. Tetapi, dia berusaha konsisten menggunakan bahasa Betawi yang juga sering disebut Melayu Rendah.

“Sebagai anak Betawi Cideng, kontan saja Bang Firman memakai bahasa Betawi subdialek atawa logat Tenabang. Itu salah satu logat yang digolongkan ke dalam dialek Betawi Kota atau Betawi Tengah. Sementara ada juga subdialek Betawi Ora tumbuh di sekitar pinggiran Jakarta,” tuturnya, sambil mencontohkan cerpen Kesurupan dalam Gambang Jakarte.

Zain He menambahkan Firman sesungguhnya lebih banyak menyuarakan persoalan penutur logat Betawi Kota ketimbang orang Betawi Ora. Simak saja dalam cerpen Sayur Asem dan Bob Komeng. Oleh karena itu, jika karya Firman Muntaco dipandang sebagai dokumentasi sosial budaya kehidupan orang Betawi, dia tidak merekam Betawi secara keseluruhan. Karya Firman hanya merekam wilayah tertentu di masa tertentu pula.
“Sebagai pembaca yang lahir dan tumbuh di pinggiran Jakarta, saya merasa soal-soal yang ditulis Bang Firman sangatlah ‘kota’. Bahasanya terasa ‘asing’ di telinga saya. Apalagi karena latar waktu cerita-ceritanya mengacu ke era 1950-1960-an,” ujar Zain Hae.


Perbedaan

Menyangkut soal perbedaan orang Betawi, SM Ardan mengakui adanya istilah antara subdialek Betawi Kota dan Betawi Ora. Sering juga orang menyebut Betawi Tengah dan Betawi Pinggir. Keduanya serupa tetapi sesungguhnya tidak sama. Dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan, perbedaan itu cukup mencolok.

“Kalau diusut-usut jadi aneh. Nyak Aminah yang berlogat Betawi Tengah punya adik Mandra yang Betawi Pinggir. Banyak persamaan tetapi juga perbedaan. Dalam sinetron, banyak orang tidak menyadari hal itu berbeda. Mandra dipaksakan bermain lenong, padahal dia pemain topeng,” kritiknya.

Menurut SM Ardan, perbedaan geografis Betawi Tengah dan Betawi Pinggir terlihat sangat jelas ketika sebelum tahun 1950-an. Bahkan daerah antara Betawi Tengah dan Betawi Pinggir bisa disebut “no mans land” atau Tanah Tak Bertuan. Apalagi transportasi dulu masih mengandalkan delman.

“Kenapa saya katakan sebelum tahun 1950, karena setelah tahun 1950, ibu kota kembali ke Jakarta. Orang tumplek blek ke mari. Garis batas itu lalu menjadi tidak jelas. Tetapi dalam bertutur masih bisa dikenali. Seperti Mandra yang Pinggir, ngomongnya ‘ngapa’ bukan ‘kenape’,” tambah Ardan.

Perbedaan antara Betawi Tengah dan Betawi Pinggir dulu tampak sangat mencolok. Itulah yang juga menyebabkan Lenong hanya ada di tengah dan Topeng ada di pinggir. “Dalam cerita Kesurupan, itu seakan-akan orang Betawi Tengah mengejek yang pinggir. Bunyi trem dibilang bletak-bletak kayak ada kudanye. Sebetulnya nggak pernah orang Pinggir ngomong begitu. Malah ada cerita, orang Pinggir kalau piknik ke Jakarta, pasti pulangnya nenteng sepatu,” ujar Ardan sambil tersenyum.

Orang Betawi Pinggir, kata Ardan, setiap Hari Lebaran, selalu memakai sepatu baru. Tetapi setiap kali lecet, mereka akhirnya kembali menenteng sepatu. Kebiasaan itu terus berulang dari tahun ke tahun dan sering kali menjadi anekdot.

“Di cerpen Kesurupan, tokoh orang Betawi Pinggir melepas alas kaki ketika naik trem seperti mau masuk ke masjid. Akibatnya dia terpaksa telanjang kaki waktu turun. Cerita itu bisa-bisanya orang Tengah saja. Tetapi dulu memang banyak orang Tengah tidak mengaku orang Pinggir itu sebagai orang Betawi. Mereka bilang itu orang udik,” tuturnya.


Dikagumi

Karya-karya Firman rupanya cukup digemari banyak pembaca. Bahkan Slamet, pria asal Malang, mengaku sering membaca cerpen Firman ketika masih di bangku sekolah dasar. Dari cerpen itu, dia memiliki imajinasi tentang kota Jakarta . Sekalipun juga berasal dari suku Jawa, Slamet mengagumi karya Firman Muntaco.

“Tulisan-tulisan beliau pada tahun 60-an, juga mengambil unsur bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda. Mungkin biasa untuk Jawa, tetapi unik bagi orang Betawi, seperti kata ‘dekem’,” pujinya.

Sementara itu, Mona, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, juga mengaku pengagum berat karya Firman Muntaco. Menurutnya, karya Firman adalah pencerminan sosial kondisi Jakarta tempo dulu. Untuk studi tentang Jakarta , tulisan Firman adalah sumber yang cukup bernilai.

“Ada satu periode yang melihat transisi perubahan Jakarta yang juga diceritakan Firman. Ketika itu, Jakarta membangun jalan Sudirman, Senayan, ada cerita orang Betawi kena gusuran dan menjadi OKB (orang kaya baru, Red). Itu masa yang krusial bagi orang Betawi. Tulisan itu seharusnya juga dibukukan sampai selesai,” tambahnya.
Sementara itu, Musa, seorang peserta diskusi, berpendapat, Jakarta dulu adalah tanah kosong yang kemudian dihuni pendatang dari Cirebon dan Banten. Jadi semua orang yang lama tinggal di Jakarta adalah orang Betawi.

“Orang-orang Betawi adalah siapa saja yang ada di Jakarta. Menurut saya semua orang Betawi adalah orang adonan. Jangan dipolitisasi. Bahasa Betawi pun juga tidak diajarkan di sekolah, Betawi akhirnya malah rusak karena dipolitisasi,” papar sarjana lulusan ilmu sejarah UI itu. [Pembaruan/Unggul Wirawan]


Sumber :
Suara Pembaruan, 08/07/2006, dalam :
http://komunitasbambu.com/resensi-kisah-orang-betawi.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar